Senin, 01 Mei 2017

Cerpen (Sarjana Bengis)

Disudut lorong ditengah himpitan gedung-gedung tua bangunan colonel belanda pada zaman penjajahan, ditatapnya lekat-lekat gitar tua itu. “ oh dengan apa lagi ku bisa dapatkan uang? “ gumannya sambil memunguti sempalan-sempalan gitar itu yang telah hancur karena kejadian tadi malam. Sempoyongan ia melangkahkan kaki , tapak demi tapak namun tak ada tujuan pasti. “heh van… mau kemana? “ Tanya adi sambil menepuk pundaknya dari belakang “eh kamu di, gak tau ni di bingung gua” jawab evan “loh loh muka km babak belur gitu kenapa?” Tanya Adi penasaran “ceritanya
panjang di” “ya udah ayo ngopi dulu diwarung mbah epok” ajak Adi.
                Dari raut mukanya, Adi tau tersimpan banyak sekali masalah yang ditanggung teman SDnya dulu ketika dikampung halamannya itu, setahunya Evan anak yang pendiam, setiap kali berkumpul dengan teman-temanya Evan tidak terlalu banyak bicara dan sering menyendiri ketika jam istirahat sekolah telah tiba.
                Awalnya, Adi sedikit kaget ketika melihat Evan berada dikota dengan penampilan compang camping seperti itu, karena setahun yang lalu ia mengikuti seminar kebangsaan dan salahsatu pematerinya adalah Evan. Tapi kenapa dia sekarang berpenampilan layaknya seorang preman pasar? Entahlah. Guman Adi dalam hati.
                “Mbah kopi item dua ya mbah, gulanya dikit aja” Adi memesan kopi, sambil menyalakan sebatang rokok. “gimana van? Kenapa mukamu kok babak belur gitu?” Tanya adi penasaran “biasa lah di, masalah kerjaan, telat setor gua” sahut Evan, “emang kamu kerja apa van” Adi penasaran sambil nyruput kopi dan menatap Evan dalam-dalam, “ngamen…” jawab Evan, “ha….? Bukannya kamu sudah….” Penasaran, tak percaya Adi mendengar temannya itu jadi pengamen, namun sebelum ia melanjutkan pertanyaannya evan langsung memotongnya “ssttt…. capek gua ni di” potong Evan, “ya udah ayo istirahat di kostan ku saja, 5 km dari sini” ajak Adi sambil membayar kopinya dan melangkah menuju kostannya.
                “kamu itirahat disini dulu ya van, saya mau nganterkan pesanan ni”, Evan merebahkan badannya sambil mangut mangut.
                “ Assalmu’alaikum van, Evan….!” Adi kaget pintu kost terbuka, dan tidak ada sahutan salam dari Evan , bergegas ia masuk dan tak ada Evan didalam “Sialan..!!!” Adi menggebrakkan laci mejanya yang ternyata uangnya hilang semua diambil Evan.
                “Dasar orang tua tak tau malu, udah tua masih saja berantem terus, saya malu pak buk malu saya jadi anak kalian, tiap hari kerjaannya hanya berantem saja, mulai sekarang saya tidak mau lagi jadi anak kalian!” bentak evan kepada orang tuanya sambil mengemasi barang-barangnya dan pergi dari rumah “ya Allah Van…. Jangan pergi nak, ibu sayang sama kamu naak!!!” tahan bu erni sambil menangis sesegukan namun Evan tak menggubrisnnya. “mas mas… ongkosnya mas!!!” suara itu mengagetkan Evan, ternyata si kernet bus yang minta ongkos.. “uhh ternyata tadi itu hanya mimpi” gumam Evan dalam hati. mimpi itu terus menerus menghantui dalam setiap mimpinya.
“aaaaaaaaa….. Allahu Akbar……” suara penumpang bus yang seketika itu membentur trotoar jalan dan berguling terbalik.
                “tolong tolong….!!! Panas ….!!! Siapa kamu…..? tolong hentikan jangan sakiti saya…” teriak Evan sambil menahan rasa sakit dan panas karena disekelilingkan seperti lautan api yang membakar tubuhnya dan ada sosok hitam besar yang membawa palu besi yang sangat menganga merah siap menggempur tubuhnya, “siapa kamu…? Aku ada dimana” Tanya Evan, “Hei… anak durhaka... ini adalah balasan untuk anak durhaka seperti kamu, kamu pantas mendapatkan semua ini… hahaha…..” dengan suara menggelegar, sosok hitam besar itu menjawab sambil memukulkan palu besi itu ketubuh Evan sekeras-kerasnya hingga remuk tak tersisa lagi…
                “Tit… tit… tit… tit…” “Alhamdulillah Evan sudah sadar pak” kata suster sambil mengganti infuse Evan yang sudah hamper kering, sedang Evan masih terlihat binggung dengan apa yang sudah terjadi, sedikit remang-remang Evan menatap sosok laki-laki tua yang berada disampingnya. Airmata pun menetes, ternyata itu adalah bapaknya yang sudah lama ia tinggal pergi dan kini berada disampingnya ketika ia sudah tak berdaya. “Ba..bapak…. maafkan Evan pak” rintih Evan menangis sesegukan menyesali apa yang sudah ia lakukan “I..Ibu mana pak…?” sambung Evan sambil melihat kesekeliling kamar rumahsakit yang kecil itu “ibumu dirumah Van” jawab pak kardi yang telah 3 bulan hidup di tengah kota tanpa bekal yang cukup, demi mencari anaknya yang telah pergi setahun yang lalu, ia terlihat kusut, lelah, kusam karena semua bekal terutama baju dan dompetnya dijambret oleh segrombolan preman pasar, untuk hidupnya sehari-hari ia hanya makan makanan bekas yang ia ambil dari tong-tong sampah pinggir warung.
                Tiga hari berlalu, akhirnya Evan diijinkan pulang oleh dokter karena keadaannya sudah pulih kembali, “Pulang yuk Van” ajak pak kardi sambil mengemasi barang-barngnya “iya pak” jawab Evan singkat, tak sabar ia ingin ketemu ibunya dan meminta maaf karena telah menyakiti hatinya.

 Sesampai dirumah Evan langsung masuk mencari sosok ibu disetiap sudut rumahnya “Pak… bapak.. ibu mana pak…?” Tanya Evan bingung dan entah kenapa dadanya sesak, hatinya hancur seketika, dan meneteslah airmata, pak kardi tidak langsung menjawabnya “Van… pakai sarung, pakai peci… tak ajak nemui ibumu” dengan nada pelan pak kardi mengajaknya keluar sambil mengambil kitab tahlil yang ada ditas meja yang berdebu itu “lho… lho… pak kok bawa kitab tahlil….?” Sahut Evan tak mengerti, airmatanya semakin mencucur deras ketika ditengah jalan ia sadar bahwa ini jalan menuju ke kuburan, oh apa yang terjadi, Evan semakin tak mengerti. “duduk Van…” lirih pak kardi sambil membuka kitab kecil yang kusam itu. “buk… maafkan Evan buk…” sambil menangis sejadi-jadinya setelah ia membaca tulisan yang berada di patokan kuburan itu ternyata nama ibunya yang telah meninggal setahun yang lalu, pas sehari setelah kepergiannya dari rumah, karena Evan ingat betul tanggal berapa ia pergi dari rumah. sekian

Guntur Prasetyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerpen (Sarjana Bengis)

Disudut lorong ditengah himpitan gedung-gedung tua bangunan colonel belanda pada zaman penjajahan, ditatapnya lekat-lekat gitar tua itu. “ ...