Disudut lorong
ditengah himpitan gedung-gedung tua bangunan colonel belanda pada zaman
penjajahan, ditatapnya lekat-lekat gitar tua itu. “ oh dengan apa lagi ku bisa
dapatkan uang? “ gumannya sambil memunguti sempalan-sempalan gitar itu yang
telah hancur karena kejadian tadi malam. Sempoyongan ia melangkahkan kaki ,
tapak demi tapak namun tak ada tujuan pasti. “heh van… mau kemana? “ Tanya adi
sambil menepuk pundaknya dari belakang “eh kamu di, gak tau ni di bingung gua”
jawab evan “loh loh muka km babak belur gitu kenapa?” Tanya Adi penasaran
“ceritanya
panjang di” “ya udah ayo ngopi dulu diwarung mbah epok” ajak Adi.
Dari
raut mukanya, Adi tau tersimpan banyak sekali masalah yang ditanggung teman
SDnya dulu ketika dikampung halamannya itu, setahunya Evan anak yang pendiam,
setiap kali berkumpul dengan teman-temanya Evan tidak terlalu banyak bicara dan
sering menyendiri ketika jam istirahat sekolah telah tiba.
Awalnya,
Adi sedikit kaget ketika melihat Evan berada dikota dengan penampilan compang
camping seperti itu, karena setahun yang lalu ia mengikuti seminar kebangsaan
dan salahsatu pematerinya adalah Evan. Tapi kenapa dia sekarang berpenampilan
layaknya seorang preman pasar? Entahlah. Guman Adi dalam hati.
“Mbah
kopi item dua ya mbah, gulanya dikit aja” Adi memesan kopi, sambil menyalakan
sebatang rokok. “gimana van? Kenapa mukamu kok babak belur gitu?” Tanya adi
penasaran “biasa lah di, masalah kerjaan, telat setor gua” sahut Evan, “emang
kamu kerja apa van” Adi penasaran sambil nyruput kopi dan menatap Evan
dalam-dalam, “ngamen…” jawab Evan, “ha….? Bukannya kamu sudah….” Penasaran, tak
percaya Adi mendengar temannya itu jadi pengamen, namun sebelum ia melanjutkan
pertanyaannya evan langsung memotongnya “ssttt…. capek gua ni di” potong Evan,
“ya udah ayo istirahat di kostan ku saja, 5 km dari sini” ajak Adi sambil
membayar kopinya dan melangkah menuju kostannya.
“kamu
itirahat disini dulu ya van, saya mau nganterkan pesanan ni”, Evan merebahkan
badannya sambil mangut mangut.
“
Assalmu’alaikum van, Evan….!” Adi kaget pintu kost terbuka, dan tidak ada
sahutan salam dari Evan , bergegas ia masuk dan tak ada Evan didalam “Sialan..!!!”
Adi menggebrakkan laci mejanya yang ternyata uangnya hilang semua diambil Evan.
“Dasar
orang tua tak tau malu, udah tua masih saja berantem terus, saya malu pak buk
malu saya jadi anak kalian, tiap hari kerjaannya hanya berantem saja, mulai
sekarang saya tidak mau lagi jadi anak kalian!” bentak evan kepada orang tuanya
sambil mengemasi barang-barangnya dan pergi dari rumah “ya Allah Van…. Jangan
pergi nak, ibu sayang sama kamu naak!!!” tahan bu erni sambil menangis
sesegukan namun Evan tak menggubrisnnya. “mas mas… ongkosnya mas!!!” suara itu
mengagetkan Evan, ternyata si kernet bus yang minta ongkos.. “uhh ternyata tadi
itu hanya mimpi” gumam Evan dalam hati. mimpi itu terus menerus menghantui
dalam setiap mimpinya.
“aaaaaaaaa…..
Allahu Akbar……” suara penumpang bus yang seketika itu membentur trotoar jalan
dan berguling terbalik.
“tolong
tolong….!!! Panas ….!!! Siapa kamu…..? tolong hentikan jangan sakiti saya…”
teriak Evan sambil menahan rasa sakit dan panas karena disekelilingkan seperti
lautan api yang membakar tubuhnya dan ada sosok hitam besar yang membawa palu
besi yang sangat menganga merah siap menggempur tubuhnya, “siapa kamu…? Aku ada
dimana” Tanya Evan, “Hei… anak durhaka... ini adalah balasan untuk anak durhaka
seperti kamu, kamu pantas mendapatkan semua ini… hahaha…..” dengan suara
menggelegar, sosok hitam besar itu menjawab sambil memukulkan palu besi itu
ketubuh Evan sekeras-kerasnya hingga remuk tak tersisa lagi…
“Tit… tit… tit… tit…” “Alhamdulillah Evan
sudah sadar pak” kata suster sambil mengganti infuse Evan yang sudah hamper
kering, sedang Evan masih terlihat binggung dengan apa yang sudah terjadi,
sedikit remang-remang Evan menatap sosok laki-laki tua yang berada
disampingnya. Airmata pun menetes, ternyata itu adalah bapaknya yang sudah lama
ia tinggal pergi dan kini berada disampingnya ketika ia sudah tak berdaya.
“Ba..bapak…. maafkan Evan pak” rintih Evan menangis sesegukan menyesali apa
yang sudah ia lakukan “I..Ibu mana pak…?” sambung Evan sambil melihat
kesekeliling kamar rumahsakit yang kecil itu “ibumu dirumah Van” jawab pak
kardi yang telah 3 bulan hidup di tengah kota tanpa bekal yang cukup, demi
mencari anaknya yang telah pergi setahun yang lalu, ia terlihat kusut, lelah,
kusam karena semua bekal terutama baju dan dompetnya dijambret oleh segrombolan
preman pasar, untuk hidupnya sehari-hari ia hanya makan makanan bekas yang ia ambil
dari tong-tong sampah pinggir warung.
Tiga
hari berlalu, akhirnya Evan diijinkan pulang oleh dokter karena keadaannya
sudah pulih kembali, “Pulang yuk Van” ajak pak kardi sambil mengemasi
barang-barngnya “iya pak” jawab Evan singkat, tak sabar ia ingin ketemu ibunya
dan meminta maaf karena telah menyakiti hatinya.
Sesampai dirumah Evan langsung masuk mencari
sosok ibu disetiap sudut rumahnya “Pak… bapak.. ibu mana pak…?” Tanya Evan
bingung dan entah kenapa dadanya sesak, hatinya hancur seketika, dan meneteslah
airmata, pak kardi tidak langsung menjawabnya “Van… pakai sarung, pakai peci…
tak ajak nemui ibumu” dengan nada pelan pak kardi mengajaknya keluar sambil
mengambil kitab tahlil yang ada ditas meja yang berdebu itu “lho… lho… pak kok
bawa kitab tahlil….?” Sahut Evan tak mengerti, airmatanya semakin mencucur
deras ketika ditengah jalan ia sadar bahwa ini jalan menuju ke kuburan, oh apa
yang terjadi, Evan semakin tak mengerti. “duduk Van…” lirih pak kardi sambil
membuka kitab kecil yang kusam itu. “buk… maafkan Evan buk…” sambil menangis
sejadi-jadinya setelah ia membaca tulisan yang berada di patokan kuburan itu
ternyata nama ibunya yang telah meninggal setahun yang lalu, pas sehari setelah
kepergiannya dari rumah, karena Evan ingat betul tanggal berapa ia pergi dari
rumah. sekian
Guntur Prasetyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar